Berikut adalah artikel yang saya tulis untuk bahan Feed The Noise Back Zine yang saat ini hanya berjalan di sektor web media/webzine (FEEDTHENOISEBACK.BLOGSPOT .COM)
Pergerakan anti-anti suatu genre musik notabene lebih banyak menggunakan siasat adudomba seperti strategi para penjajah Belanda. Selain hanya membuang waktu sia-sia, cara tersebut tidak efektif dalam kemajuan seni musik apalagi jika direalisasikan oleh sekelompok kecil individu yang tidak tahu apa-apa dampak dari tindakannya. Awalnya memang murni bertujuan untuk memusnahkan suatu kekuatan komunitas musik tertentu, namun dengan berbagai pertimbangan dimana genre yang ditentangnya adalah genre yang berpengaruh besar dalam ruang lingkup musik kebanyakan, maka otomatis apa yang menjadi kekuatan yang ditentang justru akan semakin kuat, menjadi pemersatu tanpa melihat derajat individu apapun. Seperti hal yang disengaja. Disinilah kita berbicara mengenai provokasi.
Apa tujuan provokasi? Saya tidak tahu tepatnya bagaimana karena saya tidak berpengalaman memiliki profesi sebagai pengadudomba. Sejauh yang saya tahu, provokasi musik selalu terjadi jika suatu sistem dalam komunitas musik tertentu berada dalam pemikiran-pemikiran independen yang sedang berjalan kaku, sarat akan krisis identitas dan mengalami stagnasi. Jadi dalam arti provokasi itu memang hal yang disengaja untuk menghidupkan kembali apa yang telah usang atau juga hal yang disengaja untuk kepentingan kelompok musik tertentu, demi kebesaran nama.
Jika suatu kelompok/komunitas musik tertentu besar hanya karena sebuah wacana provokasi, hal itu belum tentu mengindahkan estetika seni musik yang ada. Semua berjalan hanya demi kepentingan pribadi dan kelompok. Demi kepentingan internal yang menguntungkan sepihak. Seperti yang dikatakan kawan saya, Mas YY, semua hanya bertujuan untuk “jualan”. Provokasi bagaikan modal seorang investor yang kehabisan ide untuk menguntungkan usahanya selain dengan cara mengadudomba.
Provokasi juga termasuk ke dalam manifesto radikal yang dilancarkan atas nama misi kepentingan mendesak terutama jika kita berbicara mengenai suatu persaingan yang tidak sehat antara satu individu dengan individu yang lain. Meski individu tersebut berada dalam satu jalur yang sama, tidak menutup kemungkinan adanya kompetisi untuk berkuasa alias oligarki. Penyebaran isu yang tidak jelas dan provokatif serta penyalahgunaan kesewenangan menjadi senjata utama.
Seni musik akan kehilangan kaidahnya jika masyarakat lebih memihak prinsip keberadaan ideologi. Jika tujuan provokasi sebatas kepentingan uang, maka kaidah musik secara tidak langsung telah disingkirkan sebab keberhasilan yang diraih hanya berada dalam ruang lingkup ideologi yang cacat. Resiko terbesar tahap ini adalah lahirnya kelompok-kelompok atau komunitas musik yang membangun ideologi baru dimana visi dan misi mereka tidak berlandaskan kepada seni musik yang hakiki. Representatif “pemikir” dari sebuah kelompok yang diakui atau tidak, mengkonstruksi berbagai teori dan ideologi yang tidak ada sangkut pautnya dengan seni musik. Hanya demi uang. Bisa dibayangkan jika kelompok-kelompok tersebut yang berkuasa, musik hanya akan menjadi ajang persaingan pasar belaka tanpa mengindahkan estetika seni yang murni.
Oleh sebab itulah, jika kita masih ingin memiliki kebebasan dalam berkarya sebagaimana menjalankan estetika seni musik yang murni, sebaiknya kita tidak mendukung apapun pergerakan provokasi yang dicanangkan bersama isu-isu yang tidak jelas. Provokator manapun tidak dapat mengafiliasikan diri mereka dengan perjuangan dalam upayanya untuk meraih dominasi maupun menciptakan tatanan komunitas musik yang baru. Kita adalah seniman yang bebas. Dan kebebasan itu semakin lama semakin mahal. Gunakan waktu sebaik-baiknya untuk berkarya selagi masih ada kesempatan.
Sumber : catatan Mirantie Lee Boreel
Readmore »
Pergerakan anti-anti suatu genre musik notabene lebih banyak menggunakan siasat adudomba seperti strategi para penjajah Belanda. Selain hanya membuang waktu sia-sia, cara tersebut tidak efektif dalam kemajuan seni musik apalagi jika direalisasikan oleh sekelompok kecil individu yang tidak tahu apa-apa dampak dari tindakannya. Awalnya memang murni bertujuan untuk memusnahkan suatu kekuatan komunitas musik tertentu, namun dengan berbagai pertimbangan dimana genre yang ditentangnya adalah genre yang berpengaruh besar dalam ruang lingkup musik kebanyakan, maka otomatis apa yang menjadi kekuatan yang ditentang justru akan semakin kuat, menjadi pemersatu tanpa melihat derajat individu apapun. Seperti hal yang disengaja. Disinilah kita berbicara mengenai provokasi.
Apa tujuan provokasi? Saya tidak tahu tepatnya bagaimana karena saya tidak berpengalaman memiliki profesi sebagai pengadudomba. Sejauh yang saya tahu, provokasi musik selalu terjadi jika suatu sistem dalam komunitas musik tertentu berada dalam pemikiran-pemikiran independen yang sedang berjalan kaku, sarat akan krisis identitas dan mengalami stagnasi. Jadi dalam arti provokasi itu memang hal yang disengaja untuk menghidupkan kembali apa yang telah usang atau juga hal yang disengaja untuk kepentingan kelompok musik tertentu, demi kebesaran nama.
Jika suatu kelompok/komunitas musik tertentu besar hanya karena sebuah wacana provokasi, hal itu belum tentu mengindahkan estetika seni musik yang ada. Semua berjalan hanya demi kepentingan pribadi dan kelompok. Demi kepentingan internal yang menguntungkan sepihak. Seperti yang dikatakan kawan saya, Mas YY, semua hanya bertujuan untuk “jualan”. Provokasi bagaikan modal seorang investor yang kehabisan ide untuk menguntungkan usahanya selain dengan cara mengadudomba.
Provokasi juga termasuk ke dalam manifesto radikal yang dilancarkan atas nama misi kepentingan mendesak terutama jika kita berbicara mengenai suatu persaingan yang tidak sehat antara satu individu dengan individu yang lain. Meski individu tersebut berada dalam satu jalur yang sama, tidak menutup kemungkinan adanya kompetisi untuk berkuasa alias oligarki. Penyebaran isu yang tidak jelas dan provokatif serta penyalahgunaan kesewenangan menjadi senjata utama.
Seni musik akan kehilangan kaidahnya jika masyarakat lebih memihak prinsip keberadaan ideologi. Jika tujuan provokasi sebatas kepentingan uang, maka kaidah musik secara tidak langsung telah disingkirkan sebab keberhasilan yang diraih hanya berada dalam ruang lingkup ideologi yang cacat. Resiko terbesar tahap ini adalah lahirnya kelompok-kelompok atau komunitas musik yang membangun ideologi baru dimana visi dan misi mereka tidak berlandaskan kepada seni musik yang hakiki. Representatif “pemikir” dari sebuah kelompok yang diakui atau tidak, mengkonstruksi berbagai teori dan ideologi yang tidak ada sangkut pautnya dengan seni musik. Hanya demi uang. Bisa dibayangkan jika kelompok-kelompok tersebut yang berkuasa, musik hanya akan menjadi ajang persaingan pasar belaka tanpa mengindahkan estetika seni yang murni.
Oleh sebab itulah, jika kita masih ingin memiliki kebebasan dalam berkarya sebagaimana menjalankan estetika seni musik yang murni, sebaiknya kita tidak mendukung apapun pergerakan provokasi yang dicanangkan bersama isu-isu yang tidak jelas. Provokator manapun tidak dapat mengafiliasikan diri mereka dengan perjuangan dalam upayanya untuk meraih dominasi maupun menciptakan tatanan komunitas musik yang baru. Kita adalah seniman yang bebas. Dan kebebasan itu semakin lama semakin mahal. Gunakan waktu sebaik-baiknya untuk berkarya selagi masih ada kesempatan.
Sumber : catatan Mirantie Lee Boreel