Senin, 21 Desember 2009

MUSIK & SIASAT ADUDOMBA


Berikut adalah artikel yang saya tulis untuk bahan Feed The Noise Back Zine yang saat ini hanya berjalan di sektor web media/webzine (FEEDTHENOISEBACK.BLOGSPOT.COM)

Pergerakan anti-anti suatu genre musik notabene lebih banyak menggunakan siasat adudomba seperti strategi para penjajah Belanda. Selain hanya membuang waktu sia-sia, cara tersebut tidak efektif dalam kemajuan seni musik apalagi jika direalisasikan oleh sekelompok kecil individu yang tidak tahu apa-apa dampak dari tindakannya. Awalnya memang murni bertujuan untuk memusnahkan suatu kekuatan komunitas musik tertentu, namun dengan berbagai pertimbangan dimana genre yang ditentangnya adalah genre yang berpengaruh besar dalam ruang lingkup musik kebanyakan, maka otomatis apa yang menjadi kekuatan yang ditentang justru akan semakin kuat, menjadi pemersatu tanpa melihat derajat individu apapun. Seperti hal yang disengaja. Disinilah kita berbicara mengenai provokasi.

Apa tujuan provokasi? Saya tidak tahu tepatnya bagaimana karena saya tidak berpengalaman memiliki profesi sebagai pengadudomba. Sejauh yang saya tahu, provokasi musik selalu terjadi jika suatu sistem dalam komunitas musik tertentu berada dalam pemikiran-pemikiran independen yang sedang berjalan kaku, sarat akan krisis identitas dan mengalami stagnasi. Jadi dalam arti provokasi itu memang hal yang disengaja untuk menghidupkan kembali apa yang telah usang atau juga hal yang disengaja untuk kepentingan kelompok musik tertentu, demi kebesaran nama.

Jika suatu kelompok/komunitas musik tertentu besar hanya karena sebuah wacana provokasi, hal itu belum tentu mengindahkan estetika seni musik yang ada. Semua berjalan hanya demi kepentingan pribadi dan kelompok. Demi kepentingan internal yang menguntungkan sepihak. Seperti yang dikatakan kawan saya, Mas YY, semua hanya bertujuan untuk “jualan”. Provokasi bagaikan modal seorang investor yang kehabisan ide untuk menguntungkan usahanya selain dengan cara mengadudomba.

Provokasi juga termasuk ke dalam manifesto radikal yang dilancarkan atas nama misi kepentingan mendesak terutama jika kita berbicara mengenai suatu persaingan yang tidak sehat antara satu individu dengan individu yang lain. Meski individu tersebut berada dalam satu jalur yang sama, tidak menutup kemungkinan adanya kompetisi untuk berkuasa alias oligarki. Penyebaran isu yang tidak jelas dan provokatif serta penyalahgunaan kesewenangan menjadi senjata utama.

Seni musik akan kehilangan kaidahnya jika masyarakat lebih memihak prinsip keberadaan ideologi. Jika tujuan provokasi sebatas kepentingan uang, maka kaidah musik secara tidak langsung telah disingkirkan sebab keberhasilan yang diraih hanya berada dalam ruang lingkup ideologi yang cacat. Resiko terbesar tahap ini adalah lahirnya kelompok-kelompok atau komunitas musik yang membangun ideologi baru dimana visi dan misi mereka tidak berlandaskan kepada seni musik yang hakiki. Representatif “pemikir” dari sebuah kelompok yang diakui atau tidak, mengkonstruksi berbagai teori dan ideologi yang tidak ada sangkut pautnya dengan seni musik. Hanya demi uang. Bisa dibayangkan jika kelompok-kelompok tersebut yang berkuasa, musik hanya akan menjadi ajang persaingan pasar belaka tanpa mengindahkan estetika seni yang murni.

Oleh sebab itulah, jika kita masih ingin memiliki kebebasan dalam berkarya sebagaimana menjalankan estetika seni musik yang murni, sebaiknya kita tidak mendukung apapun pergerakan provokasi yang dicanangkan bersama isu-isu yang tidak jelas. Provokator manapun tidak dapat mengafiliasikan diri mereka dengan perjuangan dalam upayanya untuk meraih dominasi maupun menciptakan tatanan komunitas musik yang baru. Kita adalah seniman yang bebas. Dan kebebasan itu semakin lama semakin mahal. Gunakan waktu sebaik-baiknya untuk berkarya selagi masih ada kesempatan. 



Sumber : catatan Mirantie Lee Boreel
Readmore »

Sabtu, 19 Desember 2009

GRUNGE : SEBAGAI SUBKULTUR DAN GAYA


Saya tidak begitu tahu segalanya mengenai sejarah masuknya Grunge ke Indonesia atau siapa yang pertama kali mengusung bendera Grunge di tanah air ini. Nama TOILET SOUND muncul di benak saya dengan pertimbangan bahwa mereka adalah band Grunge dari Jakarta yang sering manggung di POSTER Café tahun 1996, dimana pada saat itu sangat sedikit band pengusung Grunge semacam mereka bisa gigs disandingkan dengan band-band Underground Indonesia generasi pertama seperti Brain The Machine, Bloody Gore, Jepit Rambut, Dead Pits, Rumah Sakit, dan lain-lain yang sudah getol pentas di POSTER café. 

Tapi saya mohon maaf sebesar-besarnya bahwa saya tidak akan mengulas siapa-siapa para “pendekar” Grunge, disini saya hanya akan membahas segi antropologi musik Grunge saja. Kajian tentang cara mengenali suatu budaya dari komunitas tertentu dan menghubungkannya dengan kehidupan sosial masing-masing individu yang berpengaruh juga terhadap komunitas Grunge Indonesia. 

Kita tahu Grunge itu memiliki karakteristik gaya yang tidak jauh berbeda dengan subkultur lainnya (terkesan urakan). Jeans bolong, flannel, sepatu kets, dan rambut panjang yang jarang dikeramas. Tapi sebenarnya Grunge justru lahir karena kemuakan generasi muda terhadap gaya. Dimulai sejak akhir tahun 1980-an, para generasi muda dari Seattle Sound merombak segala bentuk gaya menjadi sesuatu yang “tak bergaya” sama sekali. Terkesan menjijikan karena teramat kotor dan jauh dari segala bentuk yang “cemerlang” apalagi mewah. Jika analogi tersebut murni adanya, lalu mengapa saat ini di era 20 tahun telah berlalu, dimana flannel telah menjadi suatu gaya yang usang, anak-anak Grunge masih memakai segala atribut tersebut? Bagaimana jika kita lebih menitikberatkan pada yang “terkesan menjijikan karena teramat kotor dan jauh dari segala bentuk yang “cemerlang” apalagi mewah” itu? Flannel, jeans bolong, sepatu kets sudah tidak lagi terkesan urakan sebagai akibat komoditas bisnis di bidang fashion yang telah “menjual” ke-grungy-an Seattle Sound. 

Akar permasalahan yang sering dibicarakan mengenai musik independen tidak akan jauh-jauh dari persoalan tentang gaya/fashion. Saya juga agak terganggu dengan orang-orang yang selalu mempertanyakan kenapa gaya atau fashion itu terkesan dipentingkan dalam pergerakan subkultur. Ok, saya ajak kalian untuk menilik tulisan Dick Hebdige dari bukunya yang berjudul “Asal-Usul dan Ideologi Subkultur Punk” (Subculture ; The Meaning Of Style Routledge, London dan New York, 1999, Cetakan XIII. Diterbitkan pertama kali oleh Methuen & Co. Ltd. 1979). Ya, mungkin agak terkesan aneh kenapa saya lebih memilih referensi dari buku-buku Punk, tak lain karena sesungguhnya semua kode etik Do It Yourself memang lahir karena Punk. Dalam buku tersebut diatas dikatakan bahwa gaya memiliki tujuan dan karakteristik tertentu, yaitu :
1. GAYA SEBAGAI KOMUNIKASI INTENSIONAL. Mengartikulasikan kode dan praktik spesifik.
2. GAYA SEBAGAI BRICOLAGE. Menegaskan perbedaan subkultur dari formasi budaya yang lebih ortodoks. Mengacu pada sarana dengan apa pikiran nir-terpelajar, nir-teknis dari apa yang kita sebut manusia “primitif” menanggapi dunia sekitarnya. Proses ini memakai “sains konkret” (sebagai lawan dari sains “beradab” kita yg “abstrak”), jauh dari tak memiliki logika, ternyata ia disusun dengan saksama dan cermat, dengan menggolong-golongkan dan menata rincian remeh di dunia fisik yang demikian melimpah ruah itu menjadi struktur, dengan memakai sarana “logika” yang bukan milik kita sendiri. Struktur ini, “diimprovisasikan” atau dibuat-buat (ini terjemahan kasar dari bricoleur) sebagai tanggapan ad hoc terhadap suatu lingkungan. Ia kemudian berperan dalam menyusun homologi dan analogi antara yg disusun alam dan yang disusun masyarakat, dan dgn sangat memuaskan “menjelaskan” dunia ini dan membuatnya dapat dihuni.
3. GAYA MEMBERONTAK : GAYA “MENJIJIKKAN”. Mengekspresikan penyimpangan dengan pengertian proletarian yang sepadan.
4. GAYA SEBAGAI HOMOLOGI. Melukiskan kecocokan simbolik antara nilai-nilai dan gaya hidup suatu kelompok, pengalaman subjektif serta forma musik yang dipakai untuk mengekspresikan atau memperkuat kepedulian pokok.
5. GAYA SEBAGAI PRAKTIK SIGNIFIKASI. Menguak sejumlah makna tersembunyi yang baku, dibuang demi gagasan polisemi di mana masing-masing teks dipandang membangkitkan kisaran makna yang tak terbatas kemungkinannya.

Sedangkan Simbolik adalah bagian besar bahasa yang menamai dan menghubungkan segala sesuatu, inilah kesatuan dari KOMPETENSI SEMANTIK dan SINTATIK yang memungkinkan tampilnya komunikasi dan nalar. 

Menilik dari pembahasan gaya dalam buku tersebut bahwa gaya/fashion juga merupakan salah satu senyawa penting dalam berekspresi sehingga kita dapat mengenali maksud dan tujuan dari gaya yang diterapkan seorang individu maupun kelompok. Musik dan fashion tidak akan pernah lepas satu sama lain. Sebab keduanya merupakan pengejewantahan kebebasan berekspresi dalam segi estetika maupun adab. 

Grunge lebih dekat kesamaannya dengan ciri khas Punk, memiliki gambaran „menjijikan“ masing-masing yang bagi sebagian besar masyarakat tidak nyaman untuk dipandang. Disini kita berhadapan dengan gaya sebagai pemberontakan terhadap sistem yang menyimpang, bertujuan untuk merombak segala kemapanan yang bodoh dan menindas. Generasi muda sudah bosan dengan segala atribut gaya hasil buatan pabrik dimana corak budayanya berbau proletarian/pemaksaan dan menuntut mereka untuk seragam. Bosan dengan keadaan yang itu-itu saja dan berharap dengan melakukan perubahan akan membuat hidup mereka menjadi lebih nyaman untuk dijalani. 

Meskipun ada hubungan erat, integritas kedua forma ini tetap dipertahankan dengan cermat. Jauh dari meniru forma lain dan cenderung berkembang menjadi antitesis langsung dari sumber-sumbernya yang nyata. Namun, cara kedua forma ini dipisahkan dengan ketat, seolah-olah hendak membawa kita kepada identitas tersembunyi, yang pada gilirannya dapat dipakai untuk menjelaskan pola interaksi. Grunge dan Punk secara metaforis dapat diperluas ke isu ras dan hubungan ras yang lebih besar sehingga terjadi krisis identitas, berkaitan dengan kontradiksi dan ketegangan lebih umum yang menghalangi berkembangnya dialog terbuka antar kultur. 

Ketika suatu musik dan aneka subkultur yang didukung atau reproduksi mengalami kekakuan dan dapat dikenali polanya, terciptalah subkultur baru yang membutuhkan mutasinya dalam bentuk musik. Mutasi ini baru terjadi ketika overdeterminasi musik Seattle Sound merusak struktur musik yang telah ada dan mendesak berbagai unsurnya ke suatu figurasi baru, sebagai contoh yaitu ketika Nirvana sukses menggeser posisi King Of Pop Michael Jackson di peringkat teratas industri musik dunia pada tahun 1991, budaya Pop yang merajai tahun 80an pun menjadi mati dan diganti dengan wajah Grunge sebagai mutasi untuk figurasi baru tersebut : celana sobek, sepatu kets (Converse), rambut acak yang kesemuanya merupakan ciri khas Kurt Cobain, menjadi trend di kalangan anak muda dunia. 

Grunge dengan demikian termasuk ke dalam forma ekspresif sebagai bentuk resistensi di mana kontradiksi yang dialami maupun penolakan terhadap ideologi yang berkuasa secara tak langsung direpresentasikan lewat gaya. Melahirkan tampilan dan sound baru yang menjadi umpan balik bagi industri-industri yang sesuai (forma komoditas). Seperti dicatat John Clark : „penyebar luasan gaya pemuda dari subkultur menuju ke pasar fashion bukan sekedar proses kultural, melainkan suatu jejaring atau jenis baru institusi komersial dan ekonomi. Toko-toko rekaman berskala kecil, perusahaan rekaman, butik atau perusahaan produksi yang dikelola satu dua perempuan – kapitalisme versi artisan ini, alih-alih fenomena yang berlaku umum dan tak khas, menjadi konteks dialektika manipulasi komersial tersebut.“
















Sumber : catatan Mirantie Lee Boreel
Readmore »

Sabtu, 12 Desember 2009

DOWNLOAD FULL ALBUM

Musik grunge terbilang aliran musik yang masih jarang di Indonesia..untuk itu saya berharap dengan adanya link download ini berharap grunge dapat lebih berkembang..berikut album2 dari band2 grunge yang pernah dan masih ada..(maaf sebelumnya kalau belum semua saya lampirkan dalam tulisan ini...saya masih nge cek link download yang lain apa masih berlaku atau tidak...menyusahkan atau tidak..)

Silverchair – Neon Ballroom(1999)
tracklist:
1. Emotion Sickness 6:00
2. Anthem For The Year 2000 4:07
3. Ana’s Song (Open Fire) 3:42
4. Spawn (Again) 3:27
5. Miss You Love 4:00
6. Dearest Helpless 3:34
7. Do You Feel The Same 4:18
8. Black Tangled Heart 4:33
9. Point Of View 3:35
10. Satin Sheets 2:24
11. Paint Pastel Princess 4:33
12. Steam will rise
  1. Silverchair - Diorama
  2. Silverchair - Freak Show
Readmore »

Senin, 07 Desember 2009

TERUSIK

Baru-baru ini di facebook muncul sebuah grup yang menamakan dirinya "Anti Grunge"..saya tidak tahu apa maksud dan tujuan dibuatnya itu group, namun saya merasakan sedikit kecewa karena mereka membawa nama slankers, dengan demikian hal tersebut dapat mengakibatkan timbulnya perselisihan antara kami (people grunge) dengan komunitas slankers.
Saya juga merasa prihatin dan kasihan untuk para ADMIN dalam group tersebut karena mereka tidak benar benar mengerti atau bahkan mengetahui tentang bermusik, mereka hanya sekelompok bocah ingusan yang ingin eksis di dunia maya, namun dengan cara yang salah. Kalian bebas mengekspresikan diri dan kepribadiaan kalian hanya saja dengan jalur dan cara yang benar,,kami yang notabene anak anak grunge (atas nama seluruh group grunge baik lokal maupun tingkat nasional) tidak akan tinggal diam dengan semua penghinaan ini...
Entah apa lagi yang harus saya tulis untuk mengekspresikan kekecewaan ini...
To All People Grunge : "Bangkit dan melawan"
Beberapa contoh kasus yang pernah dialami oleh saudara kita sesama anak grunge
kejadian ini dialami oleh saudara kita  Mirantie Lee Boreel


Apa yg akan gw ceritakan disini adalah betul2 terjadi, tidak ada rekayasa. 

Menanggapi masalah adanya grup FB 'ANTI GRUNGE' & 'ANTI GRUNGE SUKABUMI' telah menyinggung banyak pihak baik di dlm maupun luar komunitas Grunge. Sudah sering kali terjadi wacana perseteruan antara gw pribadi dgn bbrapa anak2 yg ngakunya anak musik di Sukabumi jg. Bawa nama Slanker lah, Punk lah, dll. Awal perseteruan hny brlangsung di bbrpa acara musik yg menyebabkan bnyk pertikaian, pengkotakan, rusuh antar komunitas. Perseteruan smakin memuncak ketika pd suatu dini hari gw, Mirantie Lee Boreel, dikeroyok dan dipukuli sendirian oleh anak2 yg mengaku Slanker. Kejadian tersebut berlangsung pd tahun 2004 di depan Garden City Sukabumi, di pinggir jalan. Gw lawan semua laki2 itu yg jumlahnya dr 10 org, gw ga mau nyerah. Gw dihajar, gw brontak. Gw dihajar, gw brontak trs sampe tiba sirene mobil polisi. Untungnya gw ga luka serius hny memar2 di mata, dagu, leher, bahu, tangan dan kaki. Usut punya usut, ternyata mrk itu termakan isu oleh seseorang yg telah memfitnah gw dgn 'sukses' pake topik pembahasan yg ga perlu : 'Grunge itu kampungan' katanya. Yg gw ingin sampaikan dsni, gw sangat menyayangkan aksi makar dan kekerasan yg tentu sangat membuat bnyk pihak kecewa. Selama gw hdp di dunia musik dr 1 komunitas ke komunitas lain blm prnh ada niat utk menjatuhkan genre tertentu. Bahkan bs dibilang gw ga main musik hny krn sebuah genre. Musik itu dinamis n universal. Sudikah kalian para pembuat makar utk membebaskan gw berkarya sesuai keinginan gw? Bukankah hakikat seorang manusia itu adalah BEBAS menentukan pilihan? Semoga hal spt ini tidak akan pernah terulang kembali atau hanya akan melahirkan bibit kejahatan sampai memakan korban.


Terimakasih bnyk bwt tmn2 yg udh support gw, gw ketik ini ga pake bnyk nunggu n ngalir apa adanya aja.. Tetaplah berkarya..



Readmore »